yeni okta riani
3/16/2013
Selasa, 05 Juni 2012
DEGRADASI LAHAN
DEGRADASI LAHAN
Degradasi lahan merupakan menurunnya kualitas dan kuantitas suatu
lahan yang meliputi beberapa aspek, seperti aspek fisika tanah, kimia tanah,
biologi tanah, pada suatu luasan lahan. Dalam praktek budidaya pertanian sendiri sering akan menimbulkan dampak
pada degradasi lahan. Dua faktor penting dalam usaha pertanian yang potensial
menimbulkan dampak pada sumberdaya lahan, yaitu tanaman dan manusia (sosio
kultural) yang menjalankan pertanian. Diantara kedua faktor, faktor manusia yang dapat memberikan dampak positip atau
negatip pada suatu lahan, tergantung dalam pengelolaan pertanian yang dilakukan.
Apabila dalam menjalankan pertaniannya benar maka akan berdampak positip, namun
apabila cara menjalankan pertaniannya salah maka akan berdampak negatif.
Kegiatan menjalankan pertanian atau cara budidaya pertanian yang menimbulkan dampak antara lain meliputi
kegiatan pengolahan tanah, penggunaan sarana produksi yang tidak ramah
lingkungan (pupuk dan insektisida) serta sistem budidaya termasuk pola tanam
yang mereka gunakan.
Faktor alami penyebab degradasi tanah antara
lain: areal berlereng curam, tanah yang muda rusak, curah hujan intensif, dan
lain-lain. Faktor degradasi tanah akibat campur tangan manusia baik langsung
maupun tidak langsung lebih mendominasi dibandingkan oleh faktor alami, antar
lain: perubahan populasi, marjinalisasi penduduk, kemiskinan penduduk, masalah
kepemilikan lahan, ketidakstabilan politik dan kesalahan pengelolaan, kondisi
sosial dan ekonomi, masalah kesehatan, dan pengembangan pertanian yang tidak
tepat. Penebangan hutan pada lahan yang kritis, penebangan secara berlebihan
dari vegetasi, penanaman yang selalu berganti, penggembalaan yang berlebih,
ketidakseimbangan penggunaan pupuk dan praktek managemen konservasi lahan yang
salah, pemompaan air tanah yang berlebih adalah beberapa faktor yang mana
disebabkan oleh campur tangan manusia yang mengakibatkan erosi tanah.
Tiga faktor penyebab degradasi tanah akibat
campur tangan manusia secara langsung, yaitu : pertanian intensif, pembukaan
tambang, deforestasi. Faktor-faktor tersebut di Indonesia pada umumnya terjadi
secara simultan, berikut adalah pembahasan dari ketiga degradasi pada tiga
bidang.
1.
DEGRADASI LAHAN
PERTANIAN
Aktivitas pertanian juga dapat menyebabkan dampak
yang merugikan. Erosi dan kerusakan tanah terjadi akibat budi daya pertanian
yang melampaui daya dukung tanah. Penggunaan bahan-bahan agrokimia yang
berlebihan dapat mencemari lingkungan dan mengganggu kelestarian lahan.
Cara-cara budi daya pertanian yang tidak mengindahkan kaidahkaidah konservasi
lahan menyebabkan kualitas lahan menurun sejalan dengan hilangnya lapisan tanah
subur akibat erosi dan pencucian hara. Dampak negatip harus kita hilangkan atau kita tekan menjadi seminim
mungkin. Kegiatan pembangunan yang berpotensi menimbulkan dampak terhadap
degradasi lahan antara lain kegiatan deforesterisasi, industri, pertambangan,
perumahan, dan kegiatan pertanian sendiri. Apabila kegiatan tersebut tidak
dikelola dengan baik, maka akan mengakibatkan terjadinya degradasi lahan
pertanian yang mengancam keberlanjutan uasaha tani dan ketahanan pangan. Oleh
karenanya, dalam kegiatan pembangunan hendaknya harus dipikirkan
keberlanjutannya dimasa mendatang (sustainabilitas).
Dalam praktek budidaya pertanian sendiri sering akan menimbulkan dampak
pada degradasi lahan. Kegiatan menjalankan pertanian atau cara budidaya
pertanian yang menimbulkan dampak antara lain meliputi kegiatan pengolahan
tanah, penggunaan sarana produksi yang tidak ramah lingkungan (pupuk dan insektisida)
serta sistem budidaya termasuk pola tanam yang mereka gunakan. Pembangunan
pertanian konvensional yang telah kita lakukan masa lalu nampaknya belum
menjamin keberlanjutan program pembangunan pertanian. Kita berevaluasi diri,
setelah lebih dari 30 tahun menerapkan pembangunan pertanian nasional kita
menghadapi beberapa indikator yang memprihatinkan :
1.
Tingkat
produktivitas lahan menurun
2.
Tingkat
kesuburan lahan merosot
3.
Konversi
lahan pertanian semakin meningkat
4.
Luas
dan kualitas lahan kritis semakin meluas
5.
Tingkat
pencemaran dan kerusakan lingkungan pertanian meningkat
6.
Daya
dukung likungan merosot
7.
Tingkat
pengangguran di pedesaan meningkat
8.
Daya
tukar petani berkurang
9.
Penghasilan
dan kesejahteraan keluarga petani menurun, dan
10. Kesenjangan antar kelompok masyarakat
meningkat.
Dari evaluasi tersebut degradasi lahan, penurunan daya dukung lahan dan
pencemaran lahan pertanian menjadi ancaman yang serius yang harus perlu kita
hindari. Beberapa hal yang sangat mempengaruhi dalam degradasi lahan pertanian
adalah:
Pencemaran
Agrokimia.
Penggunaan bahan-bahan agrokimia, seperti pupuk dan pestisida yang
berlebihan dapat mencemari tanah, air, tanaman, dan sungai atau badan air.
Pupuk nitrogen (N) yang digunakan dalam budidaya pertanian mengalami berbagai
perubahan di dalam tanah, seperti dalam bentuk ammonium (NH4),
nitrat (NO3), dan/atau nitrit (NO2). Sebagian dari N
pupuk (NH3/N2 dan N2O) menguap ke udara
(volatilisasi), sebagian lagi hilang melalui pencucian atau erosi. Di daerah
tropis, 40-60% N-urea hilang dalam bentuk NH3. Penggunaan pupuk N dosis
tinggi, seperti pada budi daya sayuran dataran tinggi, dapat mencemari lingkungan,
karena sebagian besar N dari pupuk hanyut terbawa aliran permukaan dan erosi.
Dampak negatif lain dari penggunaan agrokimia antara lain berupa
pencemaran air, tanah, dan hasil pertanian, gangguan kesehatan petani, menurunya
keanekaragaman hayati, ketidak berdayaan petani dalam pengadaan bibit, pupuk
kimia dan dalam menentukan komoditas yang akan ditanam. Penggunaan pestisida
yang berlebih dalam kurun yang panjang, akan berdampak pada kehidupan dan
keberadaan musuh alami hama dan penyakit, dan juga berdampak pada kehidupan
biota tanah. Hal ini menyebabkan terjadinya ledakan hama penyakit dan degradasi
biota tanah. Penggunaan pupuk kimia yang berkonsentrasi tinggi dan dengan dosis
yang tinggi dalam kurun waktu yang panjang menyebabkan terjadinya penurunan kesuburan
tanah karena terjadi ketimpangan hara atau kekurangan hara lain, dan semakin
merosotnya kandungan bahan organik tanah.
Akibat dari ditinggalkannya penggunaan pupuk organik berdampak pada penyusutan
kandungan bahan organik tanah, bahkan banyak tempat-tempat yang kandungan bahan
organiknya sudah sampai pada tingkat rawan, sekitar 60 persen areal sawah di
Jawa kadungan bahan organiknya kurang dari 1 persen. Sementara, system pertanian
bisa menjadi sustainable (berkelanjutan) jika kandungan bahan organik
tanah lebih dari 2 %. Bahan organik tanah disamping memberikan unsur hara
tanaman yang lengkap juga akan memperbaiki struktur tanah, sehingga tanah akan
semakin remah. Namun jika penambahan bahan organik tidak diberikan dalam jangka
panjang kesuburan fisiknya akan semakin menurun.
Pencemaran
Industri.
Pembangunan kawasan industri pada areal
pertanian subur, produktif, dan potensial selain mengurangi luas lahan
pertanian, juga sering kali menimbulkan permasalahan lingkungan bagi masyarakat
sekitarnya, yaitu pencemaran bahan berbahaya dan beracun (B3) melalui
limbahnya. Limbah industri yang dibuang ke badan air atau sungai dan lingkungan
sekitarnya dapat mencemari tanah, air, dan tanaman apabila digunakan sebagai
sumber air pengairan. Pada umumnya tanaman tidak mengalami gangguan fisiologis,
namun kualitas hasil/produk pertanian tercemari berbahaya bagi konsumen.
Dampak yang ditimbulkan dapat berupa gas buang seperti belerang dioksida
(SO2) akan menyebabkan terjadinya hujan asam dan akan merusak lahan
pertanian. Disamping itu, adanya limbah cair dengan kandungan logam berat
beracun (Pb, Ni, Cd, Hg) akan menyebabkan degradasi lahan pertanian dan
terjadinya pencemaran dakhil. Limbah cair ini apa bila masuk ke badan air
pengairan, dampak negatipnya akan meluas sebaranya. Penggalakan terhadap
program kalibersih dan langit biru perlu dilakukan, dan penerapan sangsi bagi
pengusaha yang mengotori tanah, air dan udara.
Alih
fungsi lahan
Konversi lahan pertanian yang semakin meningkat akhir-akhir ini
merupakan salah satu ancaman terhadap keberlanjutan pertanian. Salah satu
pemicu alih fungsi lahan pertanian ke penggunaan lain adalah rendahnya isentif bagi
petani dalam berusaha tani dan tingkat keuntungan berusahatani relatif rendah.
Selain itu, usaha
pertanian
dihadapkan pada berbagai masalah yang sulit diprediksi dan mahalnya biaya pengendalian
seperti cuaca, hama dan penyakit, tidak tersedianya sarana produksi dan pemasaran.
Alih fungsi lahan banyak terjadi justru pada lahan pertanian yang mempunyai produktivitas
tinggi menjadi lahan non-pertanian. Dilaporkan dalam periode tahun 1981- 1999,
sekitar 30% (sekitar satu juta ha) lahan sawah di pulau Jawa, dan sekitar 17%
(0,6 juta ha) di luar pulau Jawa telah menyusut dan beralih ke non-pertanian,
terutama ke areal industri dan perumahan.
Banyak areal lumbung beras nasional kita yang beralih guna seperti
dipantura dan seperti pusat pembangunan di dalam pinggir perkotaan. Daerah
pertanian ini umumnya sudah dilengkapi dengan infrastruktur pengairan sehingga
berproduksi tinggi. Alih guna lahan sawah ke areal pemukiman dan industri
sangat berpengaruh pada ketersedian lahan pertanian, dan ketersediaan pangan
serta fungsi lainnya.
2. DEGRADASI
HUTAN HUJAN TROPIS DI INDONESIA
Hutan hujan tropis
Indonesia merupakan salah satu hutan yang paling terancam di muka bumi. Antara
tahun 1990 – 2005, negara ini telah kehilangan lebih dari 28 juta hektar hutan,
termasuk 21,7 persen hutan perawan. Penurunan hutan-hutan primer yang kaya
secara biologi ini adalah yang kedua di bawah Brazil. Jumlah hutan-hutan di
Indonesia makin menurun dan banyak dihancurkan karena aktivitas manusia.
Data pada tahun 1960-an, sebanyak 82% luas negara Indonesia ditutupi oleh hutan
hujan, turun menjadi 68% di tahun 1982, 53% di tahun 1995, dan 49% pada saat
ini. Umumnya, hutan tersebut bisa dikategorikan sebagai hutan yang telah
terdegradasi.
Manusia adalah penyebab
utama terdegradasinya hutan hujan tropis. Di Indonesia, aktivitas manusia yang
merusak hutan antara lain penebangan kayu, penambangan di wilayah hutan,
agrikultur, konstruksi jalan raya, perkampungan, dan peternakan. Hutan di
Indonesia kini sedang dalam kondisi yang parah karena kehilangan lebih dari dua
juta hektare area hutan pada setiap tahun. Kerusakan terutama terjadi di hutan
hujan tropis di pulau Kalimantan.
Penebangan
Kayu
Penebangan hutan di
Indonesia telah memperkenalkan beberapa daerah yang paling terpencil, dan
terlarang di dunia pada pembangunan. Penebangan hutan dilakukan dengan alasan
kebutuhan kayu untuk bangunan dan kayu bakar. Aktivitas penebangan hutan di
Indonesia, dilakukan oleh masyarakat dan perusahaan-perusahan industry kayu
baik secara legal maupun illegal. Praktek penebangan hutan sangat luas terjadi
di pulau Kalimantan dan Papua, di mana perusahaan kayu terus masuk semakin
dalam ke daerah interior untuk mencari pohon yang cocok. Hal tersebut telah
menimbulkan kerusakan yang semakin parah pada hutan hujan di Indoensia.
Pertanian
Di Hutan Hujan
Setiap tahun, penenbangan hutan
dilakukan untuk lahan pertanian. Ada dua dua kelompok yang terlibat dalam
mengubah hutan hujan menjadi tanah pertanian yaitu penduduk setempat (petani)
dan perusahaan dalam bidang pertanian. Para petani miskin menggunakan cara
tebang dan bakar untuk membersihkan bidang tanah di hutan. Biasanya mereka
bercocok tanam di bidang tanah tadi untuk beberapa tahun hingga tanah kehabisan
nutrisi dan setelah itu mereka harus berpindah ke suatu bidang tanah baru di
dalam hutan dan melakukan hal yang sama kembali. Kondisi ini semakin diperparah
dengan adanya program transmigrasi ke lokasi hutan hujan tropis pada beberapa
dasawarsa terakhir. Sedangkan perusahaan bidang pertanian banyak menggunakan
jasa penduduk lokal, dipekerjakan untuk membuka hutan dengan cara tebang dan
bakar. Kemudian lahan tersebut digunakan untuk tanaman monokultur seperti
kelapa sawit.
Aktivitas Pertambangan
Pertambangan merupakan
salah satu penyebab terbesar hilangnya hutan hujan tropis di Indonesia. Hal ini
dapat dilihat dengan sangat jelas terutama hutan hujan tropis di Kalimantan.
Luas hutan hujan berkurang secara luar biasa oleh aktivitas pertambangan baik
legal dan ilegal. Kerusakan hutan Kalimantan telah berdampak pada erosi massal,
pendangkalan sungai dan berujung pada bencana banjir. Banyak aktivitas
pertambangan lain di Indonesia memiliki wilayah operasi di dalam hutan hujan
tropis yang dilindungi, seperti di Sumatera, Sulawesi, dan Papua.
Semuanya berkontribusi besar dalam proses degradasi hutan hujan tropis,
meskipun tetap dilakukan upaya rehabilitasi purnatambang.
Hewan
Ternak Di Hutan Hujan
Membersihkan hutan untuk
menggembalakan hewan ternak adalah penyebab utama hilangnya hutan di Amazon,
dan Brazil saat ini memproduksi daging sapi lebih banyak dari sebelumnya.
Selain beternak untuk makan, banyak pemilik tanah menggunakan hewan ternak
mereka untuk meluaskan tanah mereka. Hanya dengan menaruh hewan ternak mereka
di suatu wilayah di hutan, para pemilik tanah bisa mendapatkan hak kepemilikan
bagi tanah tersebut. Untuk di Indonesia, aktivitas peternakan di hutan hujan
tropis tidak berpengarth signifikan karena peternakan oleh penduduk umumnya
masih tradisional.
3.
DEGRADASI
LAHAN BEKAS TAMBANG
Usaha pertambangan yang sering dilakukan diatas lahan yang subur atau
hutan yang permanen. Dampak negatif pertambangan dapat berupa rusaknya
permukaan bekas penambangan yang tidak teratur, hilangnya lapisan tanah yang
subur, dan sisa ekstraksi (tailing) yang akan berpengaruh pada reaksi
tanah dan komposisi tanah. Sisa ektraksi ini bisa bereaksi sangat asam atau
sangat basa, sehingga akan berpengaruh pada degradasi kesuburan tanah. Semakin
meningkatnya kebutuhan akan bahan bangunan terutama batu bata dan genteng, akan
menyebabkan kebutuhan tanah galian juga semakin banyak (galian C). Selain itu Pertambangan
sering mengubah atau menghilangkan bentuk permukaan bumi (landscape).
Kegiatan pertambangan yang dilakukan secara terbuka (opened mining)
membuka vegetasi/pohon-pohonan, menggali tanah di bawahnya, dan meninggalkan lubang-lubang
besar di permukaan bumi. Untuk memperoleh bijih tambang, permukaan tanah
dikupas dan digali menggunakan alat-alat berat seperti buldoser dan backhoe.
Para pengelola pertambangan umumnya meninggalkan areal bekas tambang tanpa
melakukan rehabilitasi dan/atau reklamasi lahan, sehingga tidak sejalan dengan
komitmennya dalam pengendalian dampak lingkungan. Bagi para
pengelola pertambangan perlu ditegaskan kembali tentang kewajibannya dalam melaksanakan rehabilitasi/ reklamasi
lahan yang mengalami kerusakan. Ini sebagai tanggung jawabnya dalam pengelolaan
lingkungan hidup, sehingga sanksi yang sesuai dan tegas dapat dikenakan.
Langganan:
Postingan (Atom)